Notification

×

Iklan

Iklan

Penculikan Anak Kian Meresahkan, di Mana Peran Negara?

Rabu, 08 Februari 2023 | Februari 08, 2023 WIB | 0 Views Last Updated 2023-02-07T23:50:57Z
Ilustrasi

Jakarta, republikindo.com— Para ibu makin resah dengan banyaknya video viral tentang penculikan anak. Seperti video penculikan anak-anak di Bekasi Utara dengan dibius dan dimasukkan ke karung saat mereka asyik bermain di teras. Video tersebut tersebar cepat di media sosial.


Meskipun Kapolsek Bekasi Utara menyatakan hal itu bukan terjadi di Bekasi Utara dan merupakan video lama yang telah menyebar pada 2020, tetapi tetap saja tidak ada yang menyanggah bahwa kasus tersebut adalah rekayasa. Artinya, penculikan dengan cara seperti itu nyata adanya dan terjadi di dekat kita.


Terlebih, banyak video penculikan yang viral dan telah terkonfirmasi kebenarannya. Misalnya, rekaman CCTV tentang penculikan bocah 11 tahun di Makassar, penculikan Malika yang diculik seorang pemulung, dan penculikan balita di Cilegon. Terbaru yang menyita perhatian adalah banyaknya kasus penculikan di Yogyakarta. Diduga kuat, angka kasus penculikan anak yang tidak terekspose dan terlaporkan, jauh lebih besar. 


Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyebut kasus penculikan anak memang makin marak. Sepanjang 2022 terjadi 28 kasus, naik dibandingkan pada 2021 (15 kasus). (CNN Indonesia, 2-2-2023)

-

Kemiskinan

-

Berbagai motif penculikan anak menjurus pada satu garis besar, yaitu kemiskinan. Kasus di Makassar dilakukan oleh pelaku remaja karena tergiur imbalan Rp1,2 miliar dari tawaran jual beli ginjal di media sosial. Pelaku menjalankan aksinya dengan mengajak korban—yang tengah menjadi juru parkir di depan minimarket—untuk membersihkan rumahnya dengan iming-iming Rp50 ribu.


Korban pun mau saja ikut pelaku setelah diiming-imingi bayaran Rp50 ribu itu. Andai ia bukan dari keluarga miskin, anak usia 11 tahun sepertinya akan mewarnai hidup dengan belajar di rumah dan sekolah, bukan di jalanan yang rawan terjadinya tindak kriminal.


Begitu pun kasus penculikan Malika di Jakarta dan balita di Cilegon, Malika diajak memulung dan balita di Cilegon digunakan pelaku untuk mengemis. Andai pekerjaan mudah didapat, tentu “profesi” mengemis dan memulung tidak akan ada yang menggandrungi.

-

Ketakwaan Hilang

-

Memang bukan semata karena kemiskinan. Ada banyak faktor penyebab maraknya tindakan kriminal, termasuk penculikan. Faktor utama adalah ketakwaan kepada Allah Taala. Andai saja para pelaku tersebut beriman pada Allah Swt. dan meyakini sepenuh hati bahwa Allah Swt. telah menetapkan rezeki bagi setiap makhluk-Nya, mereka tidak akan melakukan cara haram untuk mendapatkannya.


Namun, bagaimana bisa ketakwaan tumbuh pada diri mereka, sedangkan mereka lahir di tengah sistem kehidupan sekuler? Sedari kecil mereka tidak mengenal agamanya secara utuh. Mereka tidak paham berbagai nilai ajaran Islam, seperti bahwa nyawa manusia lebih mulia dari dunia dan isinya, pembunuhan adalah kejahatan paling besar, wajib mencari nafkah dengan cara halal, wajibnya seorang ayah menafkahi anak dan istrinya, dan sebagainya.

-

Kebijakan Kontraproduktif

-

Kehidupan sekuler sungguh telah melahirkan berbagai tindak kriminal. Ini karena kebebasan tingkah laku menjadi konsekuensi logis dari paham ini. Masyarakat merasa bebas berbuat untuk kepentingan mereka sendiri, tidak peduli merugikan orang lain atau tidak.


Negara pun alih-alih menyelesaikan masalah, malah memicu terjadinya tindak kejahatan, secara langsung maupun tidak langsung. Misalnya, menetapkan sejumlah kebijakan yang ternyata kontradiktif terhadap penyelesaian tindak kriminal, termasuk penculikan anak. 


Kebijakan terkait dengan perekonomian rakyat melalui UU Omnibus Law Cipta Kerja, misalnya, melegalkan perusahaan untuk mengupah murah pekerjanya, bahkan mem-PHK mereka. UU Minerba juga jelas-jelas memihak korporasi untuk makin menguasai kekayaan yang sejatinya milik rakyat. Dua kebijakan ini saja sudah merugikan rakyat kecil yang kemudian makin menambah angka kemiskinan. Akhirnya, akibat kemiskinan, suburlah tindak kriminal, termasuk penculikan anak.


Belum lagi kebijakan lain terkait perlindungan anak. Payung hukum memang telah ada, hanya saja, sanksinya sangat tidak menjerakan. Pasal 83 UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan pelaku penculikan anak diancam pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit 3 tahun, serta ancaman pidana berupa denda paling banyak Rp300 juta dan paling sedikit Rp60 juta. Bagaimana bisa sanksi begini bikin pelaku jera?


Belum bicara realitas hukum di negeri ini yang tampak mudah diperjualbelikan. Asal ada uang, hukuman bisa ringan, bahkan pelaku dibebaskan. Walhasil, tindakan kuratif untuk menyelesaikan persoalan penculikan tidak berjalan efektif. Begitu pula tiadanya tindakan preventif, masyarakat begitu mudah mengakses media sosial yang mengajarkan kejahatan dan pornografi, memicu maraknya penculikan dan pelecehan seksual.


Barang haram narkoba dan miras juga masih marak beredar. Padahal, barang-barang haram ini jelas-jelas menjadi awal malapetaka, tetapi tidak kunjung mendapat penyelesaian. Bahkan, miras masih bisa beredar menjadi pendapatan ekonomi—meski dengan dalih terbatas—dan terlindungi oleh regulasi.

-

Penerapan Syariat Islam

-

Sejatinya, peran negara yang tidak menerapkan syariat Islam secara sempurna menjadi faktor terbesar terjadinya keburukan di tengah rakyat, termasuk kasus penculikan. Ini karena tatkala syariat Islam ditegakkan, fungsi negara bukan sekadar regulator sebagaimana sistem hari ini, melainkan sebagai junnah (perisai) dan raa’in (pengurus) rakyat.


Menurut Islam, negara harus berada di garis terdepan untuk melindungi rakyatnya, terlebih pada generasi sebab mereka adalah mutiara umat yang akan meneruskan tongkat estafet kepemimpinan. Negara akan melindungi mereka dari segala macam mara bahaya. Mereka akan dididik dengan pemahaman akidah Islam, baik di sekolah maupun rumah. Mereka pun akan dijauhkan dari pemahaman kufur, seperti budaya liberal.


Negara juga akan memberikan sanksi yang menjerakan, termasuk pada pelaku penculikan. Hukuman bagi pelaku penculikan adalah takzir, yaitu hukuman yang ditetapkan oleh Khalifah. Hukuman bagi pembunuhan ataupun perusakan tubuh adalah kisas, yaitu hukuman balasan yang seimbang bagi pelakunya.


Selain melindungi, negara akan menciptakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki dan menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyatnya. Sandang, pangan, dan papan, serta kesehatan, keamanan, dan pendidikan, semua akan dijamin oleh negara.


Oleh karenanya, kasus penculikan anak akan selesai jika syariat Islam diterapkan dalam sistem kehidupan umat. Sistem pemerintahan Islam (Khilafah) akan bersungguh-sungguh dalam menciptakan kesejahteraan dan kehidupan yang aman sentosa. Tindak kriminal pun akan minim, bahkan hilang sama sekali. Wallahualam. (Red)

×
Berita Terbaru Update